Said Sudrajat Bawa Keluhan Nelayan Kepri Kepada Menteri KKP

Gubernur Ansar Ahmad dan Kepala DKP Kepri Said Sudrajad saat audensi bersama Menteri KKP Sakti Wahyu

Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) Ansar Ahmad dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepri Said Sudrajad melakukan audensi bersama Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono, di Ruang Rapat gedung Wahana Bahari KKP Jakarta, Kamis (24/8/24).

Gubernur Ansar dan Kadis Said Sudrajad meminta arahan Kementerian KKP tentang Peraturan Pemerintah (PP) yang dinilai punya dampak di sektor kelautan dan perikanan Provinsi Kepri. Yakni PP No.11 Tahun 2023, tentang Penangkapan Ikan Terukur dan PP No.26 Tahun 2023, tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Dampak dari kedua peraturan itu, Kepala DKP Kepri Said Sudrajad melaporkan kepada Menteri KKP bahwa kelompok nelayan di Kepri terus melakukan protes dan unjuk rasa terkait dengan terbitnya PP No 11 Tahun 2023. Neelayan sangat keberatan terhadap pperaturan tersebut.

“Salah satunya soal mengklasifikasikan kapal dengan 1-5 Gross Tonnage (GT) sebagai ukuran kecil, sedangkan 6-10 GT sebagai ukuran sedang,” kata Said.

Padahal, lanjut Said, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Kecil, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, nelayan kecil adalah nelayan yang menggunakan kapal perikanan ukuran sampai dengan 10 GT.

“Atas dasar itu pula, para kelompok nelayan di Kepri memohon agar dikembalikan nelayan kecil tetap 1-10 GT,” ujar Said.

Selain itu, lanjut Said, nelayan juga merasa terbebani dengan adanya kewajiban pemasangan Vessel Monitoring System (VMS) dengan harga yang lumayan besar.

“Ditambah dengan keberatan nelayan soal adanya pembiayaan air time dan adanya penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 5 persen,” ucap Said menutup laporannya kepada Menteri KKP saat audensi.

Menanggapi laporan tersebut, Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono menjelaskan bahwa PP No 11 Tahun 2023 bertujuan untuk mengatur zona penangkapan ikan terukur yang berada di atas 12 mil dari pantai.

Sakti Wahyu mengatakan, nelayan yang beroperasi di zona tersebut harus mendapatkan izin dari pemerintah pusat, yaitu KKP. Selain itu juga mengatur mengenai kuota penangkapan ikan pada zona penangkapan ikan terukur yang dihitung berdasarkan potensi sumber daya ikan yang tersedia.

“Dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dengan mempertimbangkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan,” jelas Sakti Wahyu.

Esensi dari PP No 11 ini, lanjut Sakti Wahyu, berprinsip untuk kepentingan lokal. Wilayah yang punya zona harus menjadi tuan rumah di tempatnya.

Terkait pungutan, Sakti Wahyu memastikan bahwa nelayan lokal dan nelayan zona tidak dipungut biaya sama sekali. Ia mengaku akan berantas para pengusaha yang masih nakal, karena pihaknya mengantongi data nelayan lokal.

“Setelah tata kelola ini dilakukan dengan baik, saya rasa nelayan daerah bisa berkembang dan populasi perikanan kita terkontrol dengan baik sesuai laporan yang diberikan,” papar Sakti Wahyu.

Untuk itu, mewakili kementerian KKP, Sakti Wahyu berharap, dengan dikeluarkannya PP No 11 Tahun 2023, kelestarian sumber daya ikan tetap terjaga dan dapat memberikan kesejahteraan nelayan. Dimana ada perluasan dan kesempatan kerja yang dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing hasil perikanan, tentunya memberi kontribusi bagi dunia usaha dan negara.

Sementara terkait dengan PP 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, menurut Sakti Wahyu, soal Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan sedimentasi, pihaknya sudah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan.

“Jadi sebelum pengusaha melakukan sedimentasi harus bayar dulu PNBP nya di awal, baru kemudian diberikan izin. Untuk lokal 30% dan untuk Ekspor 35%,” tutupnya. (*)

Sumber: DKP Kepri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *