Pelajar Tanpa Berkelahi
Masih terdengar perkelahian sesama pelajar di Kota Tanjungpinang baru baru ini. Hampir sepekan media lokal memberitakan kejadian yang telah mencoreng dunia pendidikan itu. Sebagai Ibukota Provinsi Kepri yang dikenal sebagai rujukan kebudayaan Melayu di dalam maupun luar negeri, kini harus extra untuk menyikapi atau mengatasi agar perkelahian sesama pelajar tidak berulang kembali.
Pelajar yang notabene adalah generasi bangsa tidak seharunya terpengaruh oleh tindakan kekerasan, apalagi perkelahian itu terjadi masih di sekitar lingkungan sekolah. Dapat dibayangkan, pelajar yang masih tingkat lanjutan pertama (SLTP) sudah mengenal kekerasan. Bagaimana para remaja-remaja Indonesia dapat mengemban sebagai generasi penerus bangsa jika perkelahian jadi ‘pilihan’ pelajar.
Kejadian perkelahian sesama pelajar kemarin merupakan fenomena sosial yang baru di tengah masyarakat Kota Tanjungpinang, boleh dikatakan hampir tidak ada kejadian seperti itu. Sebagian masyarakat menganggap hal tersebut lumrah, bahkan di anggap suatu tindakan yang rutin dilakukan oleh pelajar disaat menginjak remaja. Namun sebagian masyarakat merasa gerah terhadap kejadian yang viral tersebut, perkelahian terekam dalam kamera smartphone. Tidak jelas motivasinya, tanpa disadari rekaman viral itu membawa dampak buruk, bisa saja dituntut untuk bertanggungjawab di lingkungan dunia pendidikan maupun masyarakat umumnya.
Perkelahian sesama pelajar dapat diartikan adu kekuatan yang melibatkan satu orang atau kelompok di saat jam belajar maupun setelahnya. Ada hal buruk yang mengintai. Bisa saja apabila perkelahian kedua belah pihak mengarah kepada yang lebih brutal sehingga menggunakan senjata tertentu yang dapat ciderai lawan bahkan dapat menelan korban jiwa.
Meski sering di artikan sebagai kenakalan remaja, perkelahian sesama pelajar dapat di gololongkan 2 jenis, yaitu situasional dan sistematik. Situasional tergolong perkelahian dalam situasi yang mengharuskan berkelahi, biasannya akibat kebutuhan untuk memecahan masalah secara cepat. Sementara sistematik adalah remaja yang terlibat didalam suatu organisasi tertentu atau geng yang memiliki aturan aturan tertentu yang harus di ikuti, termasuk berkelahi.
Perkelahian sesama pelajar tidak terjadi tanpa sebab. Setidaknya, ada kesimpulan dari kalangan umum, generasi muda sangat erat berhubungan dengan tayangan televisi. Sangat wajar kalau remaja tertarik membandingkan hasil tontonan dengan adegan perkelahian yang dapat mempengaruhi pada tindak kekerasan. Ada fakta bahwa generasi muda meniru dari tontonan yang disajikan sehingga bisa saja timbul pemikiran untuk meniru. Bahkan yang paling di waspadai ketika remaja merasa berdasarkan pemikiran yang muncul, siapa yang kuat dia yang menang.
Dibalik itu, ada latar belakang keluarga yang berbeda-beda dari masing-masing pelajar. Mungkin juga pengaruh ekonomi keluarga dari pelajar itu, cenderung serba kekurangan bisa menyebabkan mereka melampiaskan segala ketidak-berdayannya secara materi itu melalui aksi berkelahi. Fakta itu juga bisa muncul jika ada pemahaman tidak ingin dianggap rendah sebagai eksistensi diri. Berangkat dari permasalahan yang memilki ketidakstabilan emosi pelajar juga memudahkan untuk marah sehingga menyebabkan bermusuhan.
Pemerintah harus cepat menyikapi terhadap masalah ini, pihak yang berkepentingan mengenai masalah ini harus menditeksi dini. Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan maupun dinas yang membidangi anak anak harus mampu menangkal agar kejadian tidak terulang kembali. Sekolah juga harus waspada dan membaca gelagat pelajar, mulai dari cara komunikasi atau yang pembahasan pembahasan tertentu yang di anggap ada potensi perselisihan. Berdasarkan kebiasaan umum pelajar, apabila merencanakan sesuatu selalu gagal apabila jika ada ancaman disiplin dari pihak sekolah. Sebaiknya juga sekolah menambahkan jam aktivitas selain belajar di sekolah dengan wajib mengikuti ekstrakulikuler, secara tidak langsung ada pengaruh baik pada perkembangan non akademik.
Peran orangtua juga sangat penting pada masa pertumbuhan anak. Jika memungkinkan untuk menambahkan jam belajar dengan menyertakan anak kursus tambahan pelajaran. Jika kurang memungkinkan, orang tua dapat menyarankan kepada anak agar belajar secara kelompok di lingkungan yang sebaya. Orang tua juga harus bisa memantau pergaulan anak di luar rumah. Biasanya, anak anak seusia kerap melakukan aduh domba terhadap yang lain sehingga dapat salah paham yang berujung pada perkelahian.
Contoh yang diberikan orang tua juga dapat mempengaruhi kepada anak-anaknya, baik itu contoh akhlak maupun kelakuan moral. Disini juga anak dibiasakan terhadap lingkungan yang dapat memberikan suatu pendidikan yang menanamkan moral dan akhlak melalui pelajaran maupun aktivitas keagamaan di lingkungan. Selain peran orang tua terhadap anak, ada baiknya didukung oleh perhatian dari orang dewasa di sekitar untuk lebih mengawasi agar mereka tidak bebas melakukan sesuka hati.
Mungkin tidak sebesar peran orang tua yang diberikan, tapi peran dari orang dewasa dapat membantu anak remaja dengan cara mengarahkan kepada hal hal yang bersifat positif, Seperti tingkah laku anak yang baik terhadap orang yang lebih tua dengan cara menghargai dan menghormati orang yang lebih tua dan mengayomi yang lebih muda serta memilki sifat yang santun dalam berbahasa. Memiliki akhlak dan moral yang baik pasti tidak terbiasa untuk melakukan suatu tindakan kejahatan juga dapat membentengi diri terhadap pengaruh yang negatif. (DG)