27/12/2025

Akal-akalan Efisiensi di Balik Pilkada

Akal-akalan Efisiensi di Balik Pilkada

Ilustrasi (net)

Wacana usang pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD kembali mencuat ke permukaan. Pertanyaan besarnya, mengapa karpet merah untuk sistem yang pernah ditolak publik dan dibatalkan lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) ini kembali digelar?

Narasi ini kembali benderang saat Presiden Prabowo Subianto memberikan sambutan dalam perayaan HUT Partai Golkar. Sang Presiden menyitir praktik di Malaysia, Inggris, Australia, Kanada, dan India, di mana kepala daerah dipilih oleh parlemen lokal (DPRD) dengan dalih efisiensi anggaran. Bak gayung bersambut, Partai Golkar dan PKB pun mengamini titah tersebut.

Namun, menyamakan Indonesia dengan kelima negara tersebut adalah sebuah kekeliruan fundamental. Pemilihan kepala daerah oleh parlemen di negara-negara tersebut bukan dilatari oleh kalkulasi hemat pangkal kaya, melainkan konsekuensi logis dari bentuk dan sistem pemerintahan yang termaktub dalam konstitusi mereka.

Anatomi Struktur Negara

Jumlah jenis pemilu di sebuah negara bukan ditentukan oleh selera penguasa, melainkan oleh lima pilar struktur negara. Bentuk negara (monarki atau republik), susunan negara (kesatuan atau federasi), bentuk pemerintahan (parlementer atau presidensial), sistem perwakilan (unikameral atau bikameral), dan sistem desentralisasi.

Atas dasar itulah, Amerika Serikat menggelar enam jenis pemilu, Filipina sepuluh, dan Indonesia tujuh. Esensi persoalannya bukan pada jumlah kotak suara, melainkan pada bagaimana mandat rakyat didistribusikan.

Dalam sistem demokrasi parlementer seperti di Inggris atau Malaysia, parlemen adalah satu-satunya lembaga dengan legitimasi langsung dari pemilih. Perdana menteri dan kabinet lahir dari rahim parlemen dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada mereka. Di sini, DPRD menjadi sumber legitimasi tunggal bagi kepala daerah.

Sebaliknya, Indonesia bersama AS dan Filipina menganut demokrasi presidensial. Sistem ini mengenal prinsip twin legitimacy, presiden dan parlemen sama-sama memegang mandat langsung dari rakyat. Keduanya sejajar. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, dan DPR tidak bisa menjatuhkan presiden semudah mosi tidak percaya di sistem parlementer.

Mandat Konstitusi dan Jebakan Biaya

Karena Indonesia secara konstitusional mengadopsi sistem desentralisasi, maka prinsip presidensialisme berlaku secara mutatis mutandis di level daerah. Artinya, baik anggota DPRD maupun kepala daerah wajib dipilih langsung oleh rakyat agar memiliki akar legitimasi yang setara.

Memang, Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 hanya menyebut kepala daerah dipilih secara “demokratis”, tanpa kata “langsung”. Namun, sejarah mencatat bahwa saat pasal itu dirumuskan pada 1999, desain besar sistem pemilihan kita masih dalam perdebatan alot di MPR. Arah kompas baru benderang pada amandemen ketiga dan keempat (2001-2002) yang memantapkan sistem presidensial.

Sejak 2005, pilkada langsung telah menjadi napas demokrasi kita. Bahkan, ketika pemerintah dan DPR sempat mencoba mengembalikan pilkada ke DPRD melalui UU Nomor 22 Tahun 2014, gelombang protes publik memaksa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perppu untuk membatalkannya. Mahkamah Konstitusi pun telah menegaskan bahwa pilkada adalah rezim pemilu.

Lantas, mengapa usul kuno ini dihidupkan lagi? Jika alasannya adalah biaya mahal kita harus jujur mendiagnosis, apakah yang mahal itu ongkos logistik penyelenggaraan yang ditanggung APBD, atau justru “ongkos politik” gelap yang dikeluarkan calon untuk membeli suara? Menimpakan kesalahan pada sistem pemilihan adalah diagnosa yang keliru.

Penulis: Arsih Zul Adha (Mahasiswa Departemen Hukum Tata Negara – UMRAH)